MEMBACA PRINCIPIA KARYA SIR ISAAC NEWTON

MEMBACA PRINCIPIA KARYA SIR ISAAC NEWTON.

.

Ivan Taniputera.

19 Januari 2017

.

Sebagian besar di antara kita, tentunya telah mengenal Sir Isaac Newton (1643-1727) semenjak dari bangku sekolah. Kita barangkali telah mengetahui bahwa, ia merupakan penulis karya tersohor dalam bidang matematika serta fisika berjudul “Principia.” Sebenarnya itu merupakan singkatan dari judul berbahasa Latin “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica,” yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berbunyi “Prinsip-prinsip Matematika Dalam Filsafat Alam.” Saya tiba-tiba saja tertarik membaca karya tersebut untuk mengetahui apakah di masa sekarang masih diperlukan membacanya. Beruntunglah di era Internet ini, berbagai karya terkemuka di zaman dahulu dapat dengan mudah dijumpai. Karya Newton ini memberikan sumbangsih berharga pada berbagai cabang sains, seperti astronomi, mekanika, matematika, dan lain sebagainya.

.

Newton membuka karyanya dengan suatu definisi, yang disebutnya Definisi Pertama:

.

“Kuantitas materi adalah ukuran sama yang timbul dari massa jenis dan isi secara bersamaan.”

.

Saya mencoba memahami apa yang dimaksud Isaac Newton dengan definisi tersebut. Ia menjelaskan bahwa jika massa jenis udara digandakan dengan ruang yang ditempatinya (maksudnya volume) juga digandakan, maka kuantitasnya akan menjadi rangkap empat. Apabila volumenya dibuat rangkap tiga (massa jenis tetap digandakan sebagaimana disebutkan sebelumnya), maka kuantitasnya akan menjadi rangkap enam. Kuantitas materi ini dengan demikian adalah sesuatu yang kini lebih kita kenal dengan massa. Newton sedang menjelaskan mengenai hubungan antara massa, massa jenis, dan volume; yakni melalui rumus yang kini kita kenal sebagai:

.

massa = massa jenis x volume.

m = ρ .V

.

Rumus ini tentu sudah kita kenal sejak duduk di bangku SMP. Newton menambahkan pula bahwa apa yang disebut massa ini berbanding lurus (proporsional) dengan beratnya. Hal ini tentu sudah kita kenal melalui rumus:

.

W = m. g

.

Kita akan melanjutkan dengan definisi kedua Newton:

.

“Kuantitas gerak adalah ukuran sama, yang timbul dari kecepatan dan kuantitas materi (massa) secara bersamaan. “

.

Ia menambahkan, jika suatu materi massanya digandakan tetapi kecepatannya tetap, maka kuantitas geraknya akan menjadi dua kali lipat (digandakan pula). Apabila kecepatannya juga digandakan dua kali lipat, maka kuantitas geraknya akan menjadi empat kali lipat. Nampaknya apa yang kita kenal sebagai kuantitas gerak ini adalah momentum atau p, yang dirumuskan sebagai:

.

Momentum = massa x kecepatan.

.

p = m.v

.

Kita melanjutkan lagi pada Definisi Ketiga. Definisi ketiga Newton inilah yang ternyata kita kenal sebagai Hukum Newton Pertama dalam buku-buku fisika:

.

“Gaya yang terdapat dalam sebuah materi, adalah kekuatan untuk melawan, dimana setiap benda pada keadaannya saat itu, berupaya mempertahankan keadaannya, baik itu saat diam atau bergerak lurus dengan kecepatan tetap dalam suatu garis lurus.”

.

Hal ini yang kita kenal dengan sifat kelembaman benda. Efeknya nampak saat mobil mengerem secara mendadak, dimana kita akan tersentak maju ke depan, atau saat mobil menambah kecepatan kita akan serasa terdorong ke belakang. Newton menyebut sifat ini dalam bahasa Latin sebagai vis inertiae atau “gaya tidak aktif” (inactivity force).

.

Definisi keempat Newton berbunyi:

.

“Gaya yang dikerahkan adalah upaya diberikan pada sebuah benda, guna mengubah keadaannya; baik itu dalam keadaan diam atau bergerak lurus beraturan.”

Newton menjelaskan bahwa gaya itu hanya berupa tindakan saja dan tidak lagi ada jika tindakan tersebut tidak lagi diberikan. Mungkin inilah kita yang kini kita sebut dengan “gaya luar” F.

.

Sampai di sini dahulu pembacaan saya terkait Principia karya Isaac Newton karena hari sudah larut malam. Pembacaan akan saya lanjutkan di lain kesempatan. Tentunya karya ini akan sangat menarik bagi para penggemar fisika.

KITA SELALU HIDUP DI MASA LAMPAU

KITA SELALU HIDUP DI MASA LAMPAU

 

Ivan Taniputera

25 Mei 2014

 

 

 

Apakah Anda yakin bahwa Anda benar-benar dapat mengetahui apa yang terjadi “sekarang”? Hampir semua orang akan menjawab “ya.” Namun apakah benar demikian? Jika Anda menyaksikan seseorang sedang berjalan di taman dan bintang yang berkedip-kedip di kejauhan, apakah peristiwa tersebut sungguh-sungguh terjadi “sekarang”? Marilah kita renungkan.

 

Kita mulai dengan indra penglihatan terlebih dahulu. Agar dapat melihat sesuatu kita memerlukan cahaya. Cahaya mengenai sebuah benda dan memantul kembali serta masuk ke mata kita. Selanjutnya dari mata dibawa ke otak melalui urat-urat syaraf, sehingga akhirnya kita sanggup melihat gambar tersebut. Demikianlah proses melihat secara sederhana. Namun kita jangan lupa bahwa perambatan cahaya dari benda ke mata kita juga memerlukan waktu. Meskipun cahaya merambat dengan sangat cepat (3 x 10^8 m/s), namun tetap saja perambatannya memerlukan waktu. Dengan kata lain, agar dapat melihat suatu obyek kasat mata, maka kita harus menunggu agar cahaya tersebut sampai ke mata kita. Selanjutnya kita harus menunggu pula agar gambaran tersebut sampai ke otak. Jadi terjadi penundaan secara eksternal maupun internal.

 

Bagi benda-benda yang relatif dekat, penundaan itu sangatlah singkat, tetapi bagi bintang-bintang yang sangat jauh, maka itu bisa berarti sangat lama. Contohnya adalah bintang yang berjarak 2 juta tahun cahaya dari bumi. Artinya agar dapat mencapai bintang tersebut dari bumi meskipun kita menggunakan roket yang berkecepatan cahaya, diperlukan waktu 2 juta tahun! Dengan demikian, cahaya bintang tersebut yang kita saksikan saat ini berasal dari 2 juta tahun lalu. Apabila kita ingin menyaksikan kondisi bintang tersebut “sekarang,” maka kita harus menunggu 2 juta tahun lagi! Itulah sebabnya, bintang-bintang yang kita saksikan di langit saat ini adalah keadaannya beberapa juta tahun lalu, tergantung jaraknya dari bumi. Mungkin juga, saat ini bintang tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Bunyi juga memerlukan waktu saat merambat dari sumber bunyi ke telinga kita. Kecepatan perambatan bunyi jauh lebih lambat dibanding cahaya. Itulah sebabnya kita menyaksikan kilatan petir terlebih dahulu dan setelah itu baru terdengar bunyinya. Cahaya petir lebih dahulu mencapai mata kita, ketimbang bunyinya mencapai telinga kita. Karena bunyi juga memerlukan waktu dalam mencapai telinga kita, maka suara yang kita dengar “sekarang” sesungguhnya berasal dari masa lampau. Kilat telah terjadi lebih dahulu, baru kita mendengar bunyinya. Hal yang sama berlaku pada mata, bunyi yang diterima telinga kemudian akan diteruskan ke otak, dimana hal itu juga memerlukan waktu. Jadi berlangsung waktu tunggu eksternal dan internal.

 

Begitu pula dengan bau yang berasal dari terlepasnya partikel-partikel suatu benda atau zat, dimana kemudian partikel-partikel itu diterima oleh reseptor pada hidung kita. Selanjutnya reseptor mengirim sinyal ke otak. Partikel merambat juga memerlukan waktu, begitu pula pengiriman sinyal dari reseptor. Terjadi pula waktu tunggu eksternal dan internal.

 

Barangkali yang tidak memerlukan waktu tunggu eksternal adalah indra peraba dan pengecap. Kita mengecap suatu cita rasa begitu makanan menempel pada lidah, jadi bersifat langsung. Tetapi reseptor pada lidah juga akan mengirim sinyal terlebih dahulu ke otak, sehingga tetap ada waktu tunggu internal. Hal yang sama berlaku pada indra peraba. Oleh karenanya, agar dapat mengecap atau meraba sesuatu, kita juga memerlukan waktu tunggu, yakni agar sinyal mencapai otak. Pada hewan-hewan berukuran besar seperti dinosaurus, mungkin sinyal-sinyal itu mencapai otak mereka dalam waktu lebih lama ketimbang manusia. Jadi misalkan ekor mereka terpotong, maka rasa sakitnya baru akan terasa beberapa waktu kemudian.

 

Berdasarkan kenyataan di atas, maka kita tidak akan pernah dapat mengetahui apa yang terjadi “sekarang.” Kita akan senantiasa hidup di masa lampau.